JURNAL | MENILIK SISI MATA KOIN IMBAS COVID-19
Sumber: narasumber
Tadi sore (26/04) saya dan kawan berbincang dengan beberapa driver ojol. Seperti kebanyakan teman, mereka juga mengeluhkan sepinya orderan imbas adanya wabah Covid-19. Bisa satu hari hanya dapat 1 sampai 2 penumpang atau bahkan tidak sama sekali.
Beberapa dari mereka juga menyatakan, kalau situasi mulai sulit dipertengahan Maret 2020. Padahal di awal tahun, Januari-Februari diklaim mereka masih dalam masa kejayaan. Dimana orderan masih ramai, banyak menggunakan ovo dalam metode pembayarannya dan sekarang tinggal memakai "opo" (ini bapak ojolnya yang mlesetin). Dalam fikirku, akupun mengamini hal tersebut.
Mereka juga menceritakan ketika dalam kondisi perekonomian masih baik, mereka setiap hari membeli makanan (karena kebetulan ada salah satu sumber yang merupakan suami istri dan dua-duanya merupakan driver ojol). Mampu membayar cicilan kredit mulai dari kredit mobil, dll.
Tapi sekarang, sampai akhir April. Tidak ada kejelasan kapan pandemi ini akan berakhir, karena ini suatu wabah yang kalau diprediksi oleh manusia kurang tepat kapan ujungnya. Hal tersebut menyebabkan perekonomian turun drastis, dimana PHK besar-besaran terjadi, pekerja mandiri tidak mendapat pemasukan yang mencukupi dan lain sebagainya.
Pemerintah sendiri, mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi krisis ekonomi. Salah satunya penangguhan kredit. Yang mana selama masa pandemi, debitur diberi keringanan untuk hanya membayar administrasi saja. Tapi apa bisa ini disebut keringanan sementara nominalnya 300 ribu perbulan (misal, karena tergantung cicilan apa yang diambil)? Untuk makan sehari saja bahkan besok belum pasti apalagi untuk bayar cicilan? Tapi positif saja, kalau berani mengambil cicilan apalagi yang sifatnya aktiva berarti sudah siap dengan segala resikonya.
Kembali ke topik, yang namanya wabah, ini resikonya tidak bisa diasuransikan karena resikonya tidak pasti dan tidak bisa diukur. Hal tersebut menyebabkan krisis ekonomi yang berkepanjangan apabila tidak ada persiapan yang cukup matang selama belum memasuki pandemi.
Banyak masyarakat yang kurang aware akan pentingnya perencanaan keuangan ini khususnya bagi yang mampu.
Masih banyak masyarakat yang menerapkan pola hidup YOLO. Memang tidak salah, hanya saja perlu dibatasi.
Sebisa mungkin menyisihkan sebagian harta untuk dana darurat. Kalau dalam teori dana darurat bisa digunakan untuk jangka waktu 6-12 bulan. Tapi kalau saya, minimal cukup untuk bertahan hidup selama 3 bulan dululah.
Kenapa demikian? Berdasarkan penelitian, masa waktu menganggur seseorang minimal 3 bulan. Jadi kalau misalkan menganggur dalam kurun waktu lebih dari yang tersebut mungkin kita perlu untuk instrospeksi diri; merefleksikan diri apa yang salah dari diri kita. Apakah kemampuan kita kurang mumpuni? Atau salah melamar pekerjaan? Bisa saja bukan kejadian-kejadian tersebut terjadi.
Dan kalau dalam masa wabah ini, apabila dalam kurun waktu 3 bulan masih belum selesai, ya kita harus putar otak. Dengan membuka usaha misal. Tapi usahanya melalui platform e-commerce karena berdasarkan riset, belanja via e-commerce cukup meningkat drastis dimasa pandemi ini. Jualannya apa saja? Besok insyaallah akan kita bahas ya.
Mungkin cukup sekian, tidak banyak. Ini hanya hasil singkat percakapan dengan beberapa orang yang berlangsung tadi sore. Percakapannyapun dimulai tidak sengaja akibat keresahan yang kami miliki sama.
Semoga Bermanfaat, selamat istirahat, besok sudah Senin lagi.
#Day(3)
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChalenggeHRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#RamadanDitengahPandemi
Komentar
Posting Komentar